Demikianlah telah kudengar:
Pada suatu ketika Sang Bhagava menetap di
dekat Savatthi, di hutan Jeta di Vihara Anathapindika.
Maka datanglah dewa, ketika hari menjelang
pagi, dengan cahaya yang cemerlang menerangi seluruh hutan Jeta.
Menghampiri Sang Bhagava dan menghormati
Beliau, lalu berdiri di satu sisi. Sambil berdiri di satu sisi, dewa itu
berkata kepada Sang Bhagava dalam syair ini:
Banyak dewa dan manusia, berselisih paham
tentang Berkah, yang diharap membawa keselamatan. Terangkanlah, apakah Berkah
Utama itu.
……….
Sabar, rendah hati bila diperingatkan,
mengunjungi para pertapa, membahas Dhamma pada saat yang sesuai, itulah Berkah
Utama.
……….
Karena dengan mengusahakan hal-hal itu,
manusia tak terkalahkan di manapun juga, serta berjalan aman ke mana juga,
itulah Berkah Utama.
Dengan
dasar Sutta inilah kami bergabung bersama Saddha Kirana Family Gathering (SKFG),
melakukan perjalanan ke Thailand untuk mengunjungi beberapa pertapa hutan senior
(Luang Pu).
Berjalan dengan rapi untuk ber-Pindapatta |
Kunjungan
pertapa pertama kami adalah Vihara Wat Arannavivek – Luang Pu Plien. Dengan
membawa berbagai dana makanan, beras , souvenir
dan lainnya, kami menghadap dan memberi hormat pada Luang Pu. Luang Pu
Plien menerima kami dengan senang hati, tidak banyak kata–kata yang disampaikan
karena beliau sedang sakit dan dokter merekomendasikan untuk tidak terlalu
banyak berbicara. Setelah menerima pemberkatan dan foto bersama, kami segera
diantar oleh Bhikkhu Pannavajiro, Bhikkhu Indonesia yang berlatih di vihara
tersebut ke Hall tempat kami menginap.
Pagi
hari nya kami diberikan kesempatan untuk mengikuti para bhikkhu berjalan kaki
berkeliling desa untuk menerima dana makanan dari para umat (Pindappatta). Tanpa alas kaki, para bhikkhu berjalan dengan
rapi, kami berjalan mencoba mengikuti langkah mereka dengan tergesa–gesa,
sementara para bhikkhu berjalan dengan santainya.
Tanpa alas kaki Pindapatta dilaksanakan setiap hari |
Umat menunggu setiap pagi |
Setelah
kembali ke vihara, menerima pemberkatan dan sarapan pagi, kami segera berpamit
untuk melanjutkan perjalanan menuju pertapa berikutnya.
Vihara Wat Pu Sangho – Ajahn Wanchai
Kunjungan
kedua kami adalah Vihara Wat Pu Sangho – Ajahn Wanchai. Pada vihara kedua ini, kami berkesempatan untuk melihat
kehidupan para bhikkhu yang berlatih di areal berbatuan / bergoa. Setelah menunggu beberapa waktu, kami bertemu
dan mendengarkan nasehat dari Ajahn Wanchai.
Ajahn dengan gayanya yang simpel, tegas dan lugas berpesan agar kita selalu ingat
untuk berlatih meditasi dan menjaga Citta (Batin pikiran). Di kesempatan ini pula, saya secara pribadi
meminta ijin kepada Ajahn untuk dapat medokumentasikan kehidupan bhikkhu
hutan lebih dekat lagi selama 1 minggu. Dan Ajahn mengijinkan. Kemudian saya
bertanya kembali kepada Ajahn, “Kapan waktu yang tepat untuk saya datang?” Ajahn menjawab, “RIGHT NOW!” Kami terkejut
mendengar jawaban Ajahn yang begitu tegas dan spontannya.
Setelah
sesi tanya jawab selesai, kami menyerahkan cinderamata dan dana kepada Ajahn. Kemudian ketika kami meminta ijin untuk dapat foto bersama, Ajahn menjawab,
“Sudah di foto tadi, sudah cukup.” Kami pun hanya bisa tersenyum mendengar
jawaban Ajahn yang begitu lugas.
Lalu
kami memberi hormat dan pamit untuk melanjutkan perjalanan berikutnya.
Jalan menuju Kuti |
Vihara Wat Pa Na Kam Noi – Luang Pu
Inthawai
Sore
menjelang malam kami baru tiba di Vihara Wat Pa Na Kam Noi, sehingga kami tidak
berkesempatan untuk bertemu Luang Pu Inthawai. Dan setelah kami menyerahkan
dana beras, minyak, gula dan lainnya di dapur vihara, kami diantarkan ke tempat
kami menginap oleh salah seorang bhikkhu muda.
Untuk
umat pria, kami ditempatkan di 2 buah kuti di dalam hutan yang berjarak sekitar
500 meter dari Dhammasala. Untuk umat wanita, ditempatkan di areal terpisah. Masing–masing kuti menampung 4 orang. Kami harus
menyusuri jalan batu dan jalan setapak yang dikelilingi oleh lebatnya
pepohonan. Sepanjang perjalanan kami menemukan berbagai binatang seperti ular
kecil, monyet, dan jangkrik yang berbunyi dengan nyaringnya.
Kami
hanya diberikan lilin untuk penerangan di dalam kuti, beruntung kami membawa
senter. Suasana kegelapan yang sangat pekat, hujan yang deras, suara guntur,
kilat dan suara binatang di malam hari menambah rasa ketakutan di dalam pikiran
kami sendiri. Dan setelah kami
menenangkan pikiran, kami pun tertidur pulas hingga pagi hari.
Hujan
rintik menyambut kami di pagi hari, dan kami berkesempatan untuk menyaksikan
bagaimana para bhikkhu tetap menjalankan Pindappatta sekalipun hujan semakin
deras.
Setelah
sarapan pagi, kami akhirnya berkesempatan untuk bertemu dengan Luang Pu
Inthawai. Pada kesempatan ini, Luang Pu memberikan Dhamma tentang bagaimana
kita semua bisa bertemu dan berkumpul pada hari ini dikarenakan adanya hubungan
karma masa lalu di antara kita semua.
ditemani cahaya lilin dan senter |
Dan
setelah kami memberikan cenderamata, kami pun melanjutkan perjalanan kami
kembali.
Vihara Wat Pa Daeng – Luang Pu Lee
Dalam
perjalanan menuju Vihara Wat Tham Sahai, kami terlebih dahulu mengunjungi
Vihara Wat Pa Daeng – Luang Pu Lee. Namun karena kondisi Luang Pu yang kurang
baik dan harus diisolasikan dalam ruangan kaca, kami hanya dapat melihat Luang
Pu dari luar ruangan saja.
Kami
kemudian ber namaskara untuk kesehatan Luang Pu dan melanjutkan perjalanan
kami.
Tidak lebih tidak kurang |
Vihara Wat Tham Sahai – Luang Pu Janrien
Hujan
deras dan hari menjelang malam menyambut kedatangan kami di Vihara Wat Tham
Sahai – Luang Pu Janrien. Suasana Vihara
cukup menyeramkan karena kami harus menaiki sekitar 100 anak tangga dengan
patung ular di kiri kanan nya untuk dapat masuk ke dhammasalla di dalam gua
besar. Dan di vihara ini dipasang tanda dilarang foto dimana – mana, bahkan
ketika salah satu dari kami mem foto Luang Pu, kami segera diminta dengan
hormat untuk menghapus nya dari camera kami.
Ketika
kami datang , di saat bersamaan Luang Pu Janrien sedang menerima tamu – tamu
lain nya. Dan dikarenakan hari sudah menjelang malam, Luang Pu mempersilahkan
kami untuk langsung beristirahat di hall yang telah disiapkan.
Mengambil untuk yang bisa dan dibutuhkan, bukan karena nafsu keinginan |
Pada
pagi hari kami dipersilahkan untuk sarapan pagi bersama Luang Pu dengan tata
cara vihara tersebut, dimana kami dipersilahkan untuk duduk berbaris memanjang,
lalu makanan yang telah diletakkan di atas trolly melintas di depan kami secara
bergantian. Disini kami belajar untuk mengambil makanan yang kami butuhkan atau
yang kami bisa makan, bukan yang kami inginkan, dan mengambil jumlah makanan
sesuai dengan kebutuhan. Kami juga diharuskan untuk menggeser troly dengan
cepat dan tidak bersuara.
Setelah
makan pagi, kami dipersilahkan untuk bertemu Luang Pu Janrien, namun Luang Pu
tidak sempat memberikan nasehat dikarenakan masih banyak tamu dan umat yang
bertemu di pagi hari itu. Dan setelah kami memberikan cenderamata kepada Luang
Pu, tiba – tiba kami dilempari permen oleh salah satu bhikkhu asisten Luang Pu.
Ternyata pelemparan permen adalah tata cara pemberkatan yang dilakukan di
vihara ini dan kami pun mengumpulkan permen – permen tersebut.
Vihara Wat Doi Dhamma Chedi – Luang Pu Baen
Kami
tiba di Vihara Wat Doi Dhamma Chedi – Luang Pu Baen pada sore hari. Dan kami
diterima oleh salah satu bhikkhu yang kemudian memberikan kami nasehat dan
petunjuk mengenai tata cara untuk kami dapat menginap di vihara ini, dikarenakan
Luang Pu Baen pada saat itu tidak berada di tempat, dan diinformasikan bahwa
kemungkinan besok pagi kami baru dapat menemuinya.
menanam jasa baik |
Kami
mendapatkan nasehat bahwa “Dana (menanam
jasa baik)” yang terbaik bukanlah dengan hanya berkeliling mengunjungi
pertapa dengan membawa berbagai dana makanan / uang, tetapi “Dana” yang paling baik adalah
menjalankan Sila (5 dasar sila; tidak membunuh, mencuri, berasusila, berbohong,
bermabukan) dan Samadhi (meditasi). Kami diharuskan menjalankan Silla dan tidak berbicara
/ bersuara selama menginap di vihara ini. Dan kami juga diharuskan untuk ikut
kebaktian malam sebelum istirahat dan kebaktian pagi pada pukul 3 pagi. Kami
adalah rombongan pertama yang diijinkan untuk menginap di vihara hutan ini
sebagai orang luar yang datang untuk berkunjung (bukan umat yang mengikuti
pelatihan), untuk itu kami diharapkan bisa menjaga sikap selama berada di
vihara. Kemudian kami dipersilahkan untuk menempati hall yang telah disediakan
dan bersiap – siap untuk kebaktian malam.
Pagi
ini kami harus segera bergegas untuk
merapikan semua barang – barang kami, dikarenakan jadwal penerbangan kami yang
dirubah oleh pihak maskapai dari siang hari menjadi penerbangan pagi hari. Kami
hanya memiliki sedikit ruang waktu untuk bertemu Luang Pu dan mengikuti
kegiatan Pindapatta. Di pagi hari ini
pun kami masih belum tahu apakah akan berkesempatan untuk bertemu Luang Pu
dikarenakan kami masih belum diinformasikan apabila Luang Pu telah kembali ke
vihara.
Tidak
lama setelah para bhikkhu kembali dari Pindapatta, Luang Pu Baen menemui kami
di saat kami akan mempersembahkan dana makanan. Dengan nada bercanda, Luang Pu
menyarankan agar kami tinggal di vihara ini selama 2 minggu dikarenakan kondisi
asap di Indonesia, dimana udara segar di vihara ini sangat baik untuk
kesehatan. Dan ketika kami akan mempersembahkan souvenir dan dana lilin, Luang
Pu menolak dana tersebut dan memberikan kami nasehat yang cukup keras. Luang Pu
menasehati agar souvenir dan lilin tersebut di taruh dan digunakan di altar kami
sendiri untuk mengingatkan diri kami akan pesan Luang Pu, dimana “Dana” yang kami bawa tidaklah berarti,
bahkan sangat kecil (sembari menunjukkan kurang dari 1 ruas jari
kelingkingnya.) Dana yang dipersembahkan kepada Buddha dan Sangha hendaklah
dana yang murni, yaitu dengan menjalankan Sila dan Samadhi. Beberapa dari kami sempat terkejut mendengar
nasehat tajam dari Luang Pu, namun kami hanya bisa diam dan tersenyum.
pindapatta |
Tidak
lama setelah Luang Pu Baen meninggalkan kami dan masuk ke Dhammasalla, kami pun
segera beranjak pergi menuju bandara. Sepanjang perjalanan kami hanya terdiam,
mungkin beberapa dari kami masih merenungkan nasehat tajam dari Luang Pu.
Vihara Wat Khaoyai Yana – Luang Pu Uthai
Setelah
landing di Bangkok dan dengan berkendara mobil selama kurang lebih 2 jam
akhirnya kami tiba di akhir perjalanan mengunjungi pertapa, Vihara Wat Khaoyai
Yana, Luang Pu Uthai.
setiap hari aku harus menjaga batin ku |
Luang
Pu mempersilahkan kami untuk beristirahat di ruang bawah Dhammasalla bagi pria, wanita di hall terpisah dari areal pria dan
bersiap – siap untuk ikut kebaktian malam. Setelah kami membersihkan diri dan
berbenah, kami pun segera masuk ke ruang Dhammasalla untuk ikut kebaktian.
Sempat terbesit dalam pikiran, bagaimana kami dapat membaca paritta yang
ditulis dalam bahasa Thai dan ternyata telah disiapkan tempat duduk dan buku
paritta dengan penulisan dalam bahasa Inggris untuk rombongan kami agar kami
tetap dapat bersama – sama ikut membaca paritta.
Luang
Pu Uthai mengisi dhamma sharing pada malam ini dengan sangat khusus, seperti
seorang ayah yang mengasihi dan mengayomi, menghimbau agar para bhikkhu dan
umat yang berlatih di vihara tersebut
untuk mengembangkan kasih kepada rombongan kami dari Indonesia. Luang Pu
melanjutkan dhamma dengan berdialog dan menekankan kepada kami agar giat
menjalankan Sila dan Samadhi. Bagaimana Sila dan Samadhi dapat membawa
kebahagiaan dan kehidupan akan datang yang lebih baik. Bagaimana perbuatan
jahat atau kotor akan membawa kami ke 4 alam sengsara.
dukkha dalam alam derita |
tidak lebih tidak kurang |
Pada
pagi hari, kami diberikan kesempatan untuk membantu para bhikkhu menyiapkan
makanan hasil dari pindapatta. Kami belajar banyak tentang aturan, etika dan
tata cara Sangha yang harus dijaga. Salah satu aturan yang kami belajar pada pagi hari itu adalah tentang Kappi. Dimana setiap buah / sayuran berbiji yang akan dipersembahkan kepada bhikkhu harus dipastikan bila biji dari buah tersebut tidak akan tumbuh kembali. Bhikkhu akan bertanya kepada umat, "Kappi yam Karohi?" (Apakah buah ini layak untuk bhikkhu?) Dan umat harus memastikan bila buah tersebut sudah layak dengan menusukkan garpu / merobek buah tersebut dan menjawab, "Kappi yam Bhante". (iya sudah layak).
Kemudian kami pun diberikan semangkuk nasi dan sendok untuk ritual Pindapatta. Ya, disini kami diajarkan tata cara Pindapatta yang berbeda, dimana dana makanan, semua nya masuk ke dalam dapur dan sebagai ritual kami diberikan semangkuk nasi untuk nantinya dimasukkan ke dalam mangkuk bhikkhu dengan sendok. Setelah Luang Pu
selesai membacakan doa dan mengambil makanan , kami pun
dipersilahkan untuk ikut menikmati makanan yang telah dipersiapkan oleh para
relawan dapur. Kemudian kami pun diberikan semangkuk nasi dan sendok untuk ritual Pindapatta. Ya, disini kami diajarkan tata cara Pindapatta yang berbeda, dimana dana makanan, semua nya masuk ke dalam dapur dan sebagai ritual kami diberikan semangkuk nasi untuk nantinya dimasukkan ke dalam mangkuk bhikkhu dengan sendok. Setelah Luang Pu
Kami
kembali diberikan kesempatan untuk bertemu dan berbincang – bincang dengan
Luang Pu sebelum kami pergi. Dan dalam kesempatan ini Luang Pu Uthai
menunjukkan rasa senang hati nya dengan kehadiran kami dari Indonesia, dan
berharap untuk dapat bertemu kembali. Kami pun diberikan buku – buku dhamma
yang beberapa bahkan sudah ditulis dalam bahasa Indonesia.
Penutup
Demikianlah
perjalanan mengunjungi pertapa hutan di Thailand yang kami lakukan bulan lalu.
Secara pribadi, saya melihat perjalanan ini seperti telah direncanakan agar
kami dapat lebih belajar dan memahami dhamma.
Dimana
pada awal sebelum perjalanan ini dimulai, mungkin sebagian dari kami memiliki
pemikiran bahwa hanya dengan berdana uang, makanan dan lainnya, bisa
mendapatkan berkah yang berlimpah untuk kebahagiaan kehidupan saat ini. Namun
dalam perjalanan ini telah memberikan kami banyak pelajaran dan dhamma seperti
:
- Luang Pu
Plien – memberikan rasa nyaman dengan menerima awal perjalanan kami dan
menghapuskan kekhawatiran – kekhawatiran yang muncul dari pikiran kami sendiri,
seperti kondisi hutan, tempat tinggal, makanan dan lainnya. Memberikan kami
kesempatan untuk bisa merasakan tugas, perasaan haru dan rasa hormat pada Pindapatta yang harus dijalankan oleh para
bhikkhu.
- Ajahn Wanchai – tanpa basa basi, lugas dan tegas, SEKARANG- RIGHT NOW! Waktunya untuk
kita mulai melatih Samadhi, jangan menunggu dan jangan mencari – cari alasan
tapi hendaknya bergiat melatih diri untuk pengembangan diri sendiri sekarang
juga. Basa basi ceremonial tidaklah penting, bahkan Luang Pu mengingatkan untuk
24 jam melatih Citta kita.
-
Luang Pu
Inthawai – merasakan pengalaman kehidupan isolasi bhikkhu / kesendirian di
tengah pekatnya hutan. Dimana seringkali pikiran kita sendiri lah yang menjadi
penyebab ketakutan dalam diri kita sendiri.
Bahwa kita semua bisa berkumpul, bertemu dan bersama – sama menjalankan
perjalanan ini dikarenakan adanya hubungan karma diantara kita semua.
-
Luang Pu
Lee – bahwa pada akhirnya kita semua harus mengalami tua dan kematian,
sehingga janganlah kita lupa untuk terus berlatih dan bertumbuh dalam dhamma.
-
Luang Pu
Janrien – bahwa ceremonial atau tata cara hanyalah sebuah tata cara, dan
dapat dirubah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan yang ada. Bahwa dimana saja,
di dalam goa / hutan pelatihan diri dapat selalu dikembangkan.
-
Luang Pu
Baen – teguran yang sangat tepat untuk kita selalu ingat dan belajar bahwa
“Dana” yang murni yang dapat kita persembahkan kepada Buddha dan Sangha adalah
dengan giat berlatih Samadhi dan menjalankan Sila untuk pengembangan diri kita
sendiri. Dana yang tidak berharap kembali, dana yang penuh keikhlasan.
Diingatkan bahwa “berkah utama tidaklah hanya dengan mengunjungi pertapa tetapi juga
rendah hati ketika diperingatkan.”
-
Luang Pu
Uthai – serasa seperti berpulang kepada seorang ayah yang mengayomi,
menyayangi dan menghangatkan dari rasa lelah, kecewa, dan emosi. Namun juga
tidak lupa untuk mengingatkan agar kembali ke rumah, menjaga Sila dan giat berlatih Samadhi.
setiap hari aku berbakti dengan Sila dan Samadhi |
Akhir
kata, saya ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada Saddha Kirana Family
Gathering Group yang telah mengijinkan saya untuk ikut serta dalam perjalanan
ini, Brother Adi yang telah me-arrange perjalanan ini dengan sangat baik dan
Sister Sharron (Toy) yang telah membantu menterjemahkan dan menjelaskan Dhamma
kepada kami sehingga kami dapat lebih memahami dhamma dalam perjalanan ini.
Sabbe
Satta Bhavantu Sukhitatta